Kota Indah yang Menyimpan Tragedi
PLERED, pusat Kerajaan Mataram masa Amangkurat I (1646-1677) yang terletak +12 km ke arah tenggara dari kota Yogyakarta, dalam imajinasi historis boleh jadi merupakan ibu kota Mataram yang paling cantik dibanding masa sebelum dan sesudahnya. Bayangkanlah sebuah kompleks istana dengan danau buatan yang sangat luas dan batang-batang air di sekelilingnya, juga Pegunungan Seribu sebagai latar belakangnya! Itulah gambaran yang muncul dalam babad-babad dan catatan kolonial Belanda.
Namun, di balik keindahannya, Plered adalah panggung sejarah yang pernah mementaskan banyak drama kolosal yang tragis dan membuat ngungun. Tragedi politik, sosial, kemanusiaan, dan tragedi cinta (!) dengan “tumbal” yang kelewat besar pernah mengharu biru Plered yang kini hanya menjadi kota kecamatan di Bantul itu.
Konon, misalnya, 5000–6000 santri, ulama, dan para pengikutnya (termasuk ibu dan anak-anak) tewas dibantai atas perintah Amangkurat I. Peristiwa itu tidak lama terjadi setelah dia naik tahta. Alasannya, mereka itu adalah pengikut Pangeran Alit, adik sang raja yang dianggap membangkang dan telah pula dibunuh. Demikianlah menurut catatan Rijklof van Goens, utusan VOC untuk Mataram pada 1648-1654.
Plered juga menyimpan kisah-kisah cinta yang tragis. Misalnya kisah Nyi Truntum (Ratu Malang), Rara Hoyi, putri Surabaya yang menjadi rebutan antara Amangkurat I dan putranya. Dapat pula ditambahkan kisah legendaris Rara Mendut dan Pranacitra.
Kini, semua hiruk pikuk sejarah itu lenyap tanpa bekas. Kraton Plered hanya menyisakan situs sumur gumuling yang terletak di Dusun Kedaton, beberapa umpak (penyangga tiang) Masjid Agung, reruntuhan benteng kraton, dan tanah-tanah tinggi bekas tanggul. Selebihnya, pusat Mataram ini hanya tinggal nama yang dimiliki dusun-dusun seperti Kedaton, Keputren (tempat para putri), Kanoman (tempat putra-putra kerajaan), Kauman (tempat ahli agama), Sampangan (tempat Pangeran Sampang Madura), Gerjen (tempat abdi dalem gerji ‘tukang jahit’), Segarayasa (laut buatan), Pungkuran (belakang kraton).
Situs yang relatif masih cukup lengkap adalah makam Ratu Malang. Situs ini terletak di Gunung Kelir. Ketinggiannya 29 m di atas permukaan laut. Makam ini merupakan bangunan terakhir yang dibuat Amangkurat I, yakni pada 1668.
Tentang Ratu Malang ini, Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha bercerita begini. Susuhunan Amangkurat bertitah agar dicarikan wanita cantik. Pangeran Blitar mencalonkan Nyi Truntum, putri Ki Wayah. Namun ternyata Nyi Truntum sudah bersuamikan Ki Dalem, seorang dalang wayang gedok. Sang Susuhunan tak peduli, bahkan ketika diketahuinya bahwa Nyi Truntum sedang hamil dua bulan. Truntum tetap dijadikan istri dan diberi gelar Ratu Wetan. Raja benar-benar kesengsem padanya dan melupakan istri-istri lain. Inilah sebabnya Truntum dijuluki Ratu Malang (ratu yang ‘menghalangi’ istri lainnya).
Setelah Ratu Malang melahirkan, Sang Susuhunan makin mencintainya. Ia bahkan menitahkan untuk membunuh bekas suami Nyi Truntum sehingga perempuan ini merana. Dia jatuh sakit dan meninggal dengan gejala-gejala mencurigakan: muntah dan berak encer. Raja mencurigai istri dan selir-selir lain bersekongkol meracuni Ratu Malang. Tak ayal lagi, mereka semua dikurung oleh Susuhunan sampai mati kelaparan.
Jenazah Ratu Malang dikuburkan di Gunung Kelir. Susuhunan melarang siapa pun menutup kuburnya. Siang malam ia menunggui lahad yang terbuka itu. Kerajaan kacau. Susuhunan baru mau kembali ke Kraton setelah bermimpi bahwa Ratu Malang telah kembali kepada bekas suaminya. Dan jenazahnya didapati sudah membusuk pada keesokan harinya.
“Saya akan membangun kota di Plered…” (Amangkurat 1)
ERA MATARAM Plered di bawah Amangkurat I memang terasa getir dan kelam. Begitu banyak rakyat dikorbankan demi memuaskan ego sang penguasa. Jika kita bandingkan dengan era sebelumnya, masa Sultan Agung (1613-1645) yang gemilang, pemerintahan Raden Mas Jibus atau Amangkurat I itu benar-benar menjadi antiklimaks bagi keperkasaan Mataram.
Dan hal itu juga menjadi ironi bagi Sultan Agung. Raja gagah dan cerdas yang dua kali menyerang markas VOC di Batavia pada 1628 dan 1629 itu hanya menurunkan raja pengganti yang lemah dan kekanak-kanakan. Daripada menebarkan kekuasaan ke luar Mataram, Amangkurat I, putra Sultan Agung itu, malahan sibuk membangunjagang-jagang atau parit-parit pertahanan di sekeliling Kraton. Dengan begitu, dia secara pribadi merasa aman dari ancaman-ancaman luar.
Konon, karena kekhawatiran sang raja akan keselamatan dirinya itu pula, maka begitu malam tiba seluruh kompleks Kraton dibersihkan dari laki-laki. Ya, kecuali tentu saja Susuhunan Amangkurat I sendiri. Dan ribuan wanita, dari abdi dalem, gadis palara-lara, selir, istri-istri, hingga permaisuri dan prajurit pengawal, semua siap melayani dan melindunginya. Tugas pengawalan itu dilakukan oleh tiga puluh prajurit wanita yang cantik! Mereka disebut prajurit Trinisat Kenya.
Sikap kekanak-kanakan Sang Susuhunan pun terlihat dalam perilakunya yang meledak-ledak dan tanpa pikir panjang. Amangkurat I gampang sekali menjatuhkan vonis mati kepada siapa pun yang dianggap bersalah atau menghalangi kehendaknya. Tak peduli apakah itu saudaranya (Pangeran Alit), mertuanya (Pangeran Pekik), inang dan abdi dalem Keputren, apa lagi rakyat biasa (ribuan ulama pengikut Pangeran Alit, Ki Dalem yang istrinya direbut oleh Amangkurat I dsb.), semua dibunuh jika dianggap menentang sang raja. Yang menggelikan, Susuhunan pernah secara serta merta memerintahkan untuk menebang delapan belas pohon beringin di Alun-alun karena pohon-pohon itu menghalanginya bermain layang-layang! Demikian catatan yang dibuat Jonge dalam Opkomst, Jilid VI hlm.94.
Kraton Plered itu sendiri boleh dikatakan lahir karena ego seorang anak yang tak mau tinggal di tempat kediaman ayahnya. Simaklah bagaimana Babad Tanah Jawi berkisah tentang perpindahan kraton Mataram dari Karta ke Plered.
“Segenap rakyatku, buatlah batu bata! Saya akan pindah dari Karta, karena saya tidak mau tinggal di bekas (kediaman) ayahanda. Saya akan membangun kota di Plered.” Demikian sabda Amangkurat I tidak lama setelah naik tahta pada 1646.
Sabda pandita ratu! Titah sang raja memang harus terwujud. Bahkan jika hal itu harus mengorbankan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Maka tahun-tahun berikutnya, hingga berbilang belasan tahun, adalah serangkaian panjang pembangunan pusat nagari Mataram yang bernama Plered itu.
Seolah tanpa henti ribuan rakyat dikerahkan untuk membangun benteng kraton, masjid, hutan perburuan (krapyak), serta makam-makam keluarga raja. Yang paling terkenal adalah pembuatan bangunan-bangunan air dan “laut” buatan (Segarayasa) di sebelah tenggara Kraton. Nama Plered sendiri konon berarti ‘tanggul’.
Begitulah, Plered adalah pusat kota Mataram yang dikepung laut buatan dan batang-batang air. Gambaran itu sungguh memesona. Namun, siapa sangka begitu banyak kisah pilu terjadi di sana. Dan kelak, Plered pun runtuh secara mengenaskan.
Runtuhnya Istana Pleret
Pada 28 OKTOBER 1662 Residen Jepara, Luton, menerima surat yang sebagian isinya “meramalkan” gonjang-ganjing Kerajaan Mataram Plered. “…dapatlah diperkirakan suatu saat Raja (Amangkurat I—red.) akan mengalami keguncangan besar dalam kerajaannya.” (Afgand briefboek—surat Kompeni dari Batavia ke Belanda, 1662, hlm. 557). Tetapi sebelum saatnya tiba, sejarah harus menunggu lima belas tahun lagi untuk mencatat keruntuhan itu.
“Ramalan” itu masuk akal. Isyarat-isyarat buruk itu memang sudah tampak sejak suksesi kekuasaan. Sejak awal, konsolidasi politik Mataram di bawah Amangkurat I tidak cukup kuat. Raja banyak berkonflik dengan kerabatnya, misalnya dengan Pangeran Alit (adiknya), Pangeran Silarong dan Pangeran Purbaya (paman-pamannya).
Susuhunan pun kerap menyingkirkan punggawa yang cakap mantan orang kepercayaan Sultan Agung, yakni Tumenggung Singaranu dan Pangeran Purbaya. Sebagai gantinya, dia justru mengangkat orang yang cuma gemar menjilat seperti Wirapatra.
Menjelang tamat kekuasaannya, Amangkurat I banyak berkonflik dengan putra mahkotanya. Antara lain ialah berebut perempuan! Hal itu bertambah runyam karena keenam putra Amangkurat I pun ternyata bermusuhan, baik itu terselubung maupun terang-terangan. Celakanya lagi masing-masing pangeran memiliki pengikut yang setia!
Semua itu merapuhkan Mataram dari dalam. Politik “luar negeri” pun berjalan buruk. Amangkurat I banyak melakukan klaim kekuasaan sepihak ke daerah-daerah seberang seperti Palembang, Jambi, Sukadana (Kalimantan), Banten, Batavia, dan Blambangan. Tapi, semua itu hanyalah anggapan pongah Mataram, tanpa ada bukti. Nafsu besar tenaga kurang!
Kompeni di Batavia memang membayar “upeti” ke Mataram. Tapi itu semu belaka, bukan tanda takluk. Banten tetap aman di ketiak Batavia. Blambangan lepas dari Mataram kemudian menjadi mangsa Bali, atau menjadi kerajaan kecil. Di luar Jawa, satu-satunya yang tetap setia hingga keruntuhan Mataram hanyalah Palembang. Itu pun karena Palembang merasa takut dengan musuh Mataram, yakni Banten dan Jambi yang sedang berkembang. Setelah 1660 boleh dikata tidak ada lagi sisa kekuasaan Mataram di luar Jawa.
Maka keruntuhan Mataram Plered tinggal menunggu waktu. Apalagi di sekitar pusat Mataram sendiri telah bersiaga “kekuatan-kekuatan lokal” yang secara tradisional menjadi ancaman bagi wangsa Mataram. Mereka adalah klan Ki Ageng Giring (Gunung Kidul) dan klan Panembahan Kajoran (Tembayat Klaten).
Menurut mitos, Ki Ageng Giring adalah pemilik “kelapa bertuah” yang airnya bisa menjadikan orang yang meminumnya menurunkan raja-raja Jawa. Tetapi karena suatu kebetulan, justru Ki Ageng Pemanahan—sahabat Giring—yang meminum air kelapa itu. Giring kecewa. Tapi apa boleh buat, air kelapa itu sudah habis! Pemanahan kemudian berjanji bahwa keturunan Giring kelak juga mendapatkan tuah air kelapa itu, meski hanya satu kali.
Adapun Panembahan Kajoran menjadi ancaman serius karena punya “kekuatan” spiritual dan sakti. Dialah keturunan Sunan Tembayat, tokoh spiritual yang disegani. Sultan Agung sendiri pada 1633 berziarah ke makam Sunan Tembayat untuk memperoleh semacam “berkah”. Apa jadinya jika Kajoran itu didukung Trunajaya, menantunya dari Madura?
Berbagai kekuatan itu, dan jebolnya tanggul kesabaran rakyat melawan tekanan penindasan, seolah bergabung untuk menjungkirkan tahta Mataram. 28 Juni 1677 Plered jatuh. Amangkurat I melarikan diri bersama sedikit pengikut dan kerabatnya serta sejumlah harta pusaka kerajaan ke arah barat. Enam belas hari rombongan raja yang kalah itu tersaruk-saruk melalui Imogiri, Jagabaya, Rawa, Bocor, Petanahan, Nampudadi, Pucang, Ambanan, Banyumas, Ajibarang, hingga akhirnya di Winduaji Susuhunan meninggal, lalu dimakamkan di Tegalwangi pada 13 Juli 1677.
Sumber: https://www.kompasiana.com/er-ha/55178171813311cc669de88a/pleret-ibukota-kerajaan-mataram