Masjid Kauman Pleret (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦏꦻꦴꦩꦤ꧀ꦥ꧀ꦭꦼꦉꦠ꧀, translit. Masjid Kauman Pleret) adalah salah satu cagar budaya peninggalan Kesultanan Mataram. Situs Masjid Kauman Pleret secara administratif berada di Dukuh Kauman, Kalurahan Pleret, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada 070 51’ 53,7’’ Lintang Selatan – 1100 24’ 20,4’’ Bujur Timur dan berada pada ketinggian 57 mdpl (meter di atas permukaan laut). Lingkungan fisik Situs Masjid Kauman Pleret meliputi dataran rendah pada bentang lahan dataran fluvio gunung api yang diapit oleh dua buah sungai, yaitu Sungai Gajahwong di sebelah barat dan Sungai Opak di sebelah timur.
Mengacu pada Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 74 Tahun 2008, Kawasan Cagar Budaya Pleret merupakan salah satu kawasan cagar budaya kategori kelas C di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Adapun penelitian di Kawasan Cagar Budaya Pleret ini sudah memasuki hampir tiga dekade, yaitu diawali pada tahun 1976 hingga tahun 2017.[2]
Gambaran Umum
Situs Masjid Kauman Pleret merupakan salah satu situs yang berada di Kawasan Cagar Budaya Pleret, yang dahulu menjadi ibu kota ketiga dari Kesultanan Mataram setelah Kotagede dan Kerto. Di Kawasan Cagar Budaya Pleret dijumpai situs-situs masa Mataram Islam yang beragam serta data toponim seperti Situs Kedaton, Situs Sumur Gumuling, Makam Gunung Kelir, dan Situs Kerta (Lemah Dhuwur).[3]
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta maupun Dinas Kebudayaan D.I Yogyakarta, Masjid Pleret merupakan masjid yang besar pada zamannya. Masjid ini berukuran 40 x 40 meter. Ruang utama masjid ini diperkirakan ditopang oleh empat soko guru dan beberapa tiang penyangga atau perimeter. Saat ini umpak yang masih ditemukan secara in situ (belum berpindah tempat) berjumlah 22 buah. Masjid dibangun dengan bahan bata dan batu putih dengan teknik pengerjaan tanpa spesi atau teknik kosod.[4]
Saat ini kondisi fisik Cagar Budaya Masjid Agung Kauman Pleret menyisakan reruntuhan masjid berupa mihrab, beberapa umpak berbentuk bulat yang terbuat dari batu andesit, pagar masjid di sebelah utara dan beberapa struktur masjid yang terdiri dari batu dan bata.
Proses Pembangunan
Masjid Agung Kauman Pleret dibangun oleh Raja Mataram Islam ke-4 yang berkedudukan di Pleret bernama Amangkurat I atau Amangkurat Agung. Serat Babad Momana[5] menyebutkan bahwa pada tahun 1571 J atau sekitar 1649 Masehi adalah waktu pembangunan Masjid Agung Kauman Pleret. Pendapat ini diperkuat oleh Ricklefs yang menyatakan bahwa pendirian Masjid Agung Kauman Pleret juga disebutkan dalam Babad ing Sangkala yaitu pada bulan Muharram tahun 1571 J.[6] Dua babad tersebut tentunya cukup untuk dijadikan dasar informasi mengenai waktu pembangunan Masjid Agung Kauman Pleret. Dibangunnya Masjid Agung Gedhe di daerah Pleret disebabkan kala itu ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan dari Kotagede ke Karta atau Kerto kemudian ke Pleret. Perintah perpindahan ibu kota dari Kerto ke Pleret ini dapat diketahui dalam Babad Tanah Jawi, Bahwa Raja berkata:
“…serupane kawulangsun kabeh, padha nyithaka bata, ingsun bakal mingser teka ing kutha kerta, patlasane kangieng rama ingsun tan arsa ngenggoni. Ingsun bakal yasa kutha ing Plered….”
“…semua rakyatku, kalian buatlah bata. Saya akan pindah dari Kerta, karena saya tidak mau tinggal di bekas (kediaman) ayahanda. Saya akan membangun Kota Plered….”[7]
Berdasarkan keterangan Babad Tanah Jawi di atas, dapat diketahui bahwa setelah Sunan Amangkurat I dinobatkan sebagai raja Mataram beliau tidak ingin bertakhta di Kerto bekas kediaman ayahnya, Sultan Agung. Beliau kemudian memerintahkan kepada rakyatnya untuk mencetak bata guna membangun istana baru di Pleret yang sebelumnya memang telah direncanakan sebagai bakal calon Mataram yang baru. Semenjak itu pembangunan istana oleh Amangkurat I terus dilakukan.[8]
Babad ing Sangkala menyebutkan perpindahan Sunan Amangkurat I ke Pleret terjadi sekitar tahun 1569 Jawa atau 1647 Masehi.[9] Berdasarkan cacatan Lons, ketika mengunjungi Pleret tahun 1733 Masehi menggambarkan bahwa Keraton ini dibuat batu dan lebih besar daripada Keraton Kartasura. Pleret sebagai ibu kota Kerajaan Mataram berlangsung selama Sunan Amangkurat I memimpin kerajaan yaitu tahun 1646 hingga 1677 Masehi. Pleret dibangun dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh pusat pemerintahan, salah satunya adalah pembangunan sarana keagamaan sebagai salah satu sarana pemenuhan kebutuhan religi bagi masyarakat yaitu pembangunan Masjid Agung Pleret yang saat ini lokasinya secara administratif berada di Dusun Kauman.
Kerusakan
Masjid Agung Pleret dibangun setelah Susuhunan Amangkurat I pindah ke Pleret selama 2 tahun yaitu sekitar bulan Muharram tahun 1571 Jawa atau 1649 Masehi. Menurut catatan Lons ketika berkunjung tahun 1733 Masehi, Masjid Agung Pleret berukuran besar, berbentuk segi empat namun telah mengalami kerusakan. Lons masih sempat menyaksikan masjid tersebut mempunyai tiga pintu di sebelah timur dan mempunyai serambi depan yang besar, masjid tersebut dikelilingi tembok tebal dan tinggi.[10]
Akhir masa Keraton Pleret sebagai pusat pemerintahan Mataram Islam ditandai dengan serbuan pasukan Trunajaya yang mengakibatkan Amangkurat I meninggalkan kota itu pada tanggal 28 Juni 1677 M. Setelah menguasai Pleret, Trunajaya memerintahkan untuk menghancurkan keraton tersebut namun Masjid Agung Pleret tidak ikut dihancurkan. Disebutkan pula bahwa Pangeran Puger, salah seorang putra Amangkurat I kembali ke Pleret dan berhasil merebut kerajaan dari tangan Trunajaya. Ia tinggal di Pleret hingga tahun 1644 J (1722 Masehi) kemudian pindah ke Kartasura. Alasan pemindahan ini adalah karena Keraton Pleret telah ditaklukkan. Dalam filosofi Jawa, ketika sebuah keraton ditaklukkan maka tidak layak lagi untuk ditempati. Sejak saat itu, Keraton Pleret tidak berfungsi lagi.[11]
Pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1860-an bekas-bekas bangunan di Pleret diambil batanya untuk membangun Pabrik Gula Kedaton Pleret. Begitu pula dengan bata Masjid Agung Pleret. Bata dan batu masjid tersebut juga diambil untuk membangun pabrik gula. Meskipun demikian, ketika Rouffaer mengunjungi tempat itu pada tahun 1889, ia masih dapat membuat peta sketsa keraton berdasarkan peninggalan-peninggalan yang masih ada. Ia memperkirakan bahwa tembok istana dulu tingginya antara 5-6 m, tebalnya 1,5 m, dan terbuat dari bata. Bagian atasnya di beri penutup berbentuk segitiga yang terbuat dari balok-balok batu putih. Informasi mengenai Masjid Agung kembali diketahui setelah sekitar delapan dekade kemudian yaitu tahun 1940-an. Kala itu Jepang tengah menjajah Indonesia dan membangun terowongan bawah tanah di kompleks Masjid Agung. Terowongan tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian. Selanjutnya, di wilayah Pleret sebagai bekas Kerajaan Mataram Islam dilakukan beberapa penelitian dan ekskavasi.[12]
RIWAYAT PENELITIAN
Penelitian diawali tahun 1976 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Kemudian tahun 1978 dilakukan survei arkeologis, toponimis dan geologis.[13] Penelitian selanjutnya dilakukan tahun 1980 hingga 1981.[14][15] Ekskavasi dilakukan pertama kali tahun 1985 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Sekitar tahun 2003, ekskavasi kembali dilakukan di Masjid Agung Kauman. Kegiatan ini dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY.[16] Data arkeologis yang diperoleh dalam ekskavasi ini di antaranya:
Pada tahun 2005 kembali dilakukan ekskavasi tahap ketiga yang membuka 42 kotak yang tujuannya melacak struktur denah masjid dan jagang masjid.[17] Jagang masjid diperkirakan berada di sisi timur masjid. Ekskavasi tahap keempat dilakukan tahun 2007 semakin memperkuat bukti jagang masjid terletak di sebelah timur. Ekskavasi kali ini membuka 13 kotak dan melacak struktur sudut masjid sebelah tenggara.
Tahun 2008 dilakukan ekskavasi tahap kelima yang menitikberatkan pada bagian barat situs (fondasi dinding sebelah barat, struktur sudut barat daya, dan struktur barat laut), struktur umpak dan landasan di bagian tengah serta bagian timur masjid.[18] Ekskavasi tahap ke VI pada tahun 2009 berhasil mendapatkan data pintu masuk sebelah timur yang membujur arah utara-selatan sepanjang 175 cm dan memiliki lebar 50 cm.[19]
Penelitian dan ekskavasi tahap VII tahun 2010 dilakukan di sektor barat, barat daya dan timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di sebelah barat daya situs Masjid Agung Gedhe Kauman Pleret terdapat bangunan pendukung masjid yang diperkirakan sebagai tempat tinggal imam.[20] Di sisi selatan ada indikasi terputusnya struktur fondasi dinding masjid. Temuan di sisi timur menunjukkan adanya stuktur yang diperkirakan bagian dari struktur serambi, sedangkan di sisi barat menunjukkan indikasi perbedaan ketinggian antara lantai pengimaman dan lantai jemaah.
Ekskavasi terakhir dilaksanakan pada tahun 2017 bertujuan untuk mengungkap keberadaan bangunan masjid secara keseluruhan baik denahnya maupun komponen bangunan yang ada pada masjid tersebut. Upaya mengungkap denah masjid dan komponen masjid ini penting dilakukan sebagai dasar bagi pemanfaatan situs ini sebagai situs museum.
KONDISI FISIK
Hasil penelitian Mundardjito menunjukkan bahwa ada enam variabel sumber daya lingkungan yang dapat diamati di sekitar situs Masjid Agung Kauman Pleret, yaitu:[21]
Ketinggian tempat
Ketinggian situs ini sekitar 57 mdpl dan termasuk dalam kategori dataran rendah.[22] Kontur tanah tidak merata atau menurun. Tanah di sisi barat lebih tinggi daripada sisi timur. Jenis tanah yang diketahui dari kotak ekskavasi adalah tanah humus dan tampaknya sudah teraduk.
Kelerengan
Adapun kelerengan situs adalah < 2 id="cite_ref-van._1979_22-1" class="reference">[22]
Bentuk lahan
Bentuk lahan Dusun Kauman, Pleret dikategorikan ke dalam bentuk dataran fluvio vulkanik (Dfg) yang rentang ketinggiannya mulai dari 125 mdpl hingga 0 mdpl di daerah pantai selatan.
Tanah
Tanah di sekitar situs dapat dikategorikan sebagai tanah kambisol dengan tekstur geluh berpasir hingga gelur berlempung, struktur remah hingga gumpal, gembur hingga teguh dan agak lekat bila dalam kondisi basah, berwarna cokelat hingga cokelat kelabu, permeabilitas sedang, daya serap terhadap air tinggi serta tanah dapat diolah dengan ringan.
Batuan
Disebabkan bentuk lahannya merupakan dataran fluvio vulkanik, maka jenis batuannya juga termasuk dalam batuan vulkanik muda yaitu batuan hasil proses pengendapan material asal gunung api yang terdiri dari tufa.
Sungai
Keraton Pleret dibatasi oleh dua sungai yaitu Kali Gajah Wong di sebelah barat dan Kali Opak di sebelah timur. Kedua sungai ini diperkirakan berperan penting terhadap keberadaan Masjid Kauman Pleret. Salah satunya sebagai sumber air untuk mengairi jagang masjid yang diperkirakan dialirkan dari Kali Opak melalui kanal buatan yang melewati masjid tersebut.[23]
PELESTARIAN
Dinamika yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang telah menyebabkan situs ini tinggal reruntuhan. Sejarah Masjid Agung Kauman Pleret sebagai bagian dari perjalanan panjang Kesultanan Mataram Islam perlu dilakukan upaya rekonstruksi, penataan kembali, dan perlindungan agar situs tidak semakin rusak. Sebaliknya, situs ini dapat lebih bermanfaat untuk khalayak umum.
Upaya pelestarian pertama kali dilakukan tahun 2016. Pada saat itu dilakukan penataan dan perlindungan situs dari cuaca hujan dan panas. Pelestarian tahap kedua dilaksanakan tahun 2017. Pelestarian tahap kedua berupaya untuk membuat situs ini menjadi museum berbasis situs arkeologi atau situs museum.[24]
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Kauman_Pleret#cite_note-2