Keraton Pleret memiliki belah ketupat dengan luasnya 2.256 m2, hal ini berdasarkan laporan Van Goens (Graaf, 1987:11). Pada tanggal 16 Oktober 1668, Abraham Verspreet mengunjungi istana Pleret dengan melewati jembatan di atas parit yang mengelilingi istana dan setelah itu barulah ia tiba di alun-alun. Suasana ini menunjukkan bahwa pembangunan Keraton Pleret menyerupai pulau yang dikelilingi oleh air. Pada masa pemerintahan Sultan Agung pembangunan Bendungan Pleret telah dimulai dan berlanjut hingga masa pemerintahan Amangkurat I (Graaf, 1987: 15). Bendungan dan danau berfungsi sebagai sarana hiburan bagi sunan dan perlindungan keraton dari ancaman banjir. Bendungan tersebut kemungkinan besar merupakan sumber air yang dialirkan melalui parit atau kanal ke dalam keraton sekaligus untuk mengendalikan debit airnya. Air dari parit di dalam keraton dibuang melalui Sungai
Gajahwong (Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017).
Setelah itu juga disebutkan beberapa komponen lain di dalam Keraton Pleret seperti Siti Hinggil, Bangsal Witana, Mandungan, Sri Manganti, Pecaosan, Sumur Gemuling, Masjid Panepen, Prabayesa, Bangsal Kencana, Bangsal Kemuning, Bangsal Manis, Gedung Kuning, dan tempat tinggal abdi dalem Kedhondhong (Adrisijanti, 2000: 76). Babad Momana juga mencatat salah satu bangunan yang bernama Gedhong Sundawa yang belum diketahui fungsinya. Komponen-komponen Keraton Pleret tersebut dibangun secara bertahap.
Berdasarkan data dari Serat Momana disebutkan tahun pendirian beberapa Bangunan Kadipaten (1571J/1649 M), Prabayeksa (1572J/1650 M), Segarayasa (1574J/1652 M). keterangan lain yang diperoleh adalah Pembangunan Siti Hinggil bagian bawah dengan batu (1572J/1650 M), pembangunan Witana atau Anjungan di Siti Hinggil (1574), permulaan pembangunan Laradenan atau Kediaman Putra Mahkota (1576J/1654 M), dan pembangunan bangsal di Srimanganti (1585J/1663 M) (Graaf, 1987: 13 dalam Lap. Kegiatan Ekskavasi Arkeologi Situs Masjid Kauman dan Situs Kedaton, 2017 dan Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).
Dalam Babad Momana diceritakan bahwa kehancuran Keraton Pleret disebabkan oleh serangan Trunojoyo dan menyebabkan kekalahan Susuhunan Amangkurat I. Oleh karena itu, Susuhunan Amangkurat I dikenal pula dengan sebutan Tegalwangi (Laporan Hasil Ekskavasi KWB Plered, 2019).
Saat ini tinggalan di Keraton Pleret hanya berupa toponim Kedaton, sedangkan mengenai komponen bangunan Keraton Pleret di permukaan tanah sudah tidak tersisa. Rusaknya Keraton Pleret ini disebabkan bebrapa faktor antara lain adanya serbuan Trunojoyo, lokasi pertahanan pada masa perang Diponegoro pada tahun 1826, penggunaan bata Keraton Pleret untuk membangun pabrik gula pada masa kolonial Belanda serta pembuatan semen merah oleh penduduk setempat pasca Kemerdekaan RI.
lokasi