Keberadaan Keraton Kerto muncul pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613¬1646 M) berdasarkan informasi yang didapatkan dari Babad Momana dan Babad ing Sangkala. Pada Babad Momana disebutkan bahwa pembangunan Keraton Kerto dilakukan pada tahun 1617 M. Pendapat lain juga menunjukkan adanya bukti pembangunan keraton didukung dengan adanya cerita yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1617-1618 M terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang pajang kepada Mataram. Kemudian Sultan Agung memerintahkan para pemberontak membuat batubata untuk persiapan proyek pembangunan yang cukup besar (Yudodiprojo, 1994: 27). Berdasarkan
Babad Momana diceritakan bahwa pembangunan Keraton Kerto dilakukan secara bertahap. Pada tahun 1618 Sultan Agung telah bertempat tinggal di Keraton Kerto. Namun, ibu suri masih bertempat tinggal di Kotagede. Ibu suri kemudian bertempat tinggal di Keraton Kerto pada tahun 1621 M bersamaan dengan pindahnya para pangeran yang mendiami kediaman pangeran (Graaf, 1986: 109). Pada tahun 1625-1626 terjadi perluasan keraton dengan membangun bangunan Siti Hinggil (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007).
Selain itu, dalam Babad Momana diceritakan pula proses kehancuran Keraton Kerto setelah wafatnya Sultan Agung. Pada tahun 1589 J (1667 M) terjadi kebakaran di Prabayeksa, tidak diketahui penyebab kebakaran dan kehancuran Keraton Kerto setelahnya. Pada abad ke-18, terdapat informasi yang m enyebutkan bahwa Keraton Kerto dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Mataram tandingan oleh Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar yang bertujuan untuk merebut tahta kerajaan yang diduduki oleh Sultan Amangkurat IV (Nurhadi dan Armeni, 1976: 2 dalam Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007). Nama kerto kemudian dirubah menjadi “Kertosekar” atau “Kertosari” untuk membedakan penamaan keraton pada masa Sultan Agung dan Keraton Kartasura (Moedjanto, 2002: 96). Namun aksi militer ini gagal. Setelah itu, tidak ditemukan Kembali informasi tentang penghunian dan penggunaan Keraton Kerto. Berdasarkan informasi yang telah diketahui dari berbagai sumber yang telah dijelaskan di atas, Keraton Kerto mulai dibangun dan dihuni sekitar tahun 1617 M sampai dengan sekitar tahun 1700-an M (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007).
Berdasarkan Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto tahun 2007 disebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan proses transformasi deposisi Siti Hinggil Keraton Kerto antara lain disebabkan oleh proses budaya dan proses alam. Minimnya data arkeologis yang menunjukkan eksistensi Situs Kerto berdasarkan proses budaya disebabkan oleh pelapukan atau kerusakan bangunan berbahan kayu, pengambilan bahan baku Keraton Kerto untuk pembangunan Keraton Pleret yang baru,
kerusakan yang disebabkan oleh serangan dari pasukan mataram yang menghancurkan kelompok Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, kerusakan yang mungkin disebabkan oleh serangan Trunojoyo ke Pleret, batubata bekas Keraton Kerto digunakan untuk pembangunan pabrik gula di Plered, dan Kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat sekitar dalam pembuatan semen merah serta memperjual belikan batubata bekas keraton. Selain itu, kerusakan yang disebabkan oleh proses alam antara lain erosi dan gempa bumi. Proses transformasi pasca deposisi Siti Hinggil Keraton Kerto antara lain disebabkan oleh aktifitas pengurugan untuk ladang dan aktifitas penambangan tanah untuk industri batubata (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007). Kegiatan penelitian Situs Kerto dimulai pada tahun 1976 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta berupa survei. Kegiatan survei tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan survei lanjutan pada tahun 1978 yang merupakan survei dan ekskavasi gabungan antara Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala DIY, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, Museum Sana Budaya Yogyakarta, Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala Prambanan, Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Bagian Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM (Lap. Kegiatan Ekskavasi, Penyelamatan, dan Pendokumentasian Situs Kerto, 2007) dan setelah itu dilanjutkan Kembali penelitian lanjutan berupa ekskavasi, penyelamatan, dan pendokumentasian pada tahun 2007.
Berdasarkan tinggalan arkeologis yang masih ditemukan di Situs Kerto diindikasikan bahwa bangunan inti yang ada di dalam kompleks Situs Kerto merupakan bangunan pendapa. Hal ini didukung dengan adanya temuan 4 buah umpak saka guru dengan ukuran permukaan 70 x 70 cm, ukuran alas umpak 85 x 85 cm, dan tinggi 67 cm. Saat ini, umpak yang berada di Situs Kerto tersisa 2 umpak, 1 umpak dibawa ke Taman Sari yang kemudian di letakkan di Masjid Saka Tunggal, sedangkan 1 umpak lainnya belum diketahui keberadannya. Selain umpak Saka Guru, besar kemungkinan bahwa umpak-umpak penyangga bangunan lainnya sudah dipindahkan dari lokasi asalnya. Ukuran umpak yang cukup besar sangat sesuai dengan ukuran umpak pada bangunan Siti Hinggil pada umumnya.
Struktur yang ditemukan selama proses ekskavasi diindikasikan merupakan struktur dinding penguat tanah di dalam pondasi bangunan, struktur dinding batur bangunan inti dan bangunan pendukung, struktur dinding talud bangunan inti, struktur dinding pondasi tangga naik bangunan inti. Selain temuan bangunan inti dan pendukung, ditemukan pula struktur dinding benteng keliling komplek dan pelataran halaman kompleks berupa struktur talud pelataran halaman komplek, struktur dinding penguat tanah pondasi pelataran halaman komplek, dan struktur trap tangga pintu gerbang komplek.
lokasi